Selama
masa kehamilan, saya dan suami rutin check
up ke dokter sebulan sekali. Di awal kehamilan, trimester pertama, saya
terpaksa bed rest seminggu karena ada
vlek. Beberapa tensions juga cukup
membuat tertekan, tapi alhamdulilah saya dikelilingi teman-teman yang selalu
mendukung dan menyemangati. Terlebih, suami selalu memonitor saya dari
tempatnya bekerja. Dukungan-dukungan itulah yang menyebabkan kehamilan saya
berkembang dengan baik.
Sebagai
referensi, saya mempercayakan penanganan kehamilan kepada dokter Vincentia
Merry, S.POg. di rumah sakit Panti Rapih. Alasannya, karena saya memilh dokter
kandungan perempuan, dan rumah sakit yang ANTI SUSU FORMULA, rawat gabung, dan
edukasi penanganan bayinya bagus. Untuk tempat kelahiran, awalnya saya
berencana untuk lairan di Sragen, biar dekat keluarga. Saya sudah mengajukan
cuti tanggal 23 Maret 2013 karena HPL masih tanggal 14 April 2013. Saya pikir
lumayan lah 1 bulan untuk istirahat.
Namun
demikian, pas tanggal 21 Maret, kamis malam jumat, saya terbangun dalam posisi
celana basah kuyup. Saya pikir mungkin saya ngompol. Tapi setelah saya
pikir-pikir lagi, masak iya ngompol sampai sebanyak ini. Lalu saya coba membau
bekas ‘ompolan’ itu dan baunya tidak pesing. Saya curiga bahwa itu air ketuban
yang rembes. Jadi ternyata faktor kelelahan itu kadang emaknya tidak merasa lelah,
tapi kandungannya yang merasakan,
Well,
akhirnya, saya menelfon ibu saya, suami saya, teman kerja saya, dan teman karib
saya untuk :
-
Memastikan bahwa itu benarlah air
ketuban
-
Melakukan langkah-langkah lanjutan
untuk identfikasi persalinan
-
Setalah teridentifikasi bahwa
memang itu tanda-tanda persalinan, saya mulai mengemas barang-barang
-
Dan dijemput dua teman karib saya,
sekitar jam 10 malam, saya ke panti rapih untuk...melahirkan tentunya
Kondisi
pecah ketuban, kalau di rumah sakit yang lain, biasanya akan langsung
dinyatakan caesar. Tapi tidak dengan
Panti Rapih, bahwa semua agen medis (perawat, bidan, dan dokter) menyatakan
saya bisa melahirkan dengan cara normal. Sebenarnya, saya takut dengan lahiran
normal yang katanya sakit. Tapi saya lebih takut disuntik anestesi, jadi ya
bismillahirrahmanirrahim saya berjuang
sebisa mungkin untuk lahiran normal. Suami saya datang sekitar jam 11 malam
karena menyusul dari tempatnya bekerja, diikuti ibu saya, dan bapak ibu mertua
saya yang tiba sekitar 2 jam berikutnya.
Sebelum
proses persalinan, perawat menanyai saya untuk konfirmasi tindakan-tindakan apa
saja yang akan dilakukan sebelum-saat-dan sesudah proses persalinan.
Diantaranya:
-
Lahiran normal/spontan
-
Jika ibu dan bayi dianggap tidak
kuat, maka alternatif 1 diinduksi (pacu) atau 2 caesar.
-
Imunisasi hepatitis B akan
langsung diberikan
-
Cek penglihatan dan pendengaran
-
Cek bilirubin
-
Rawat gabung/pisah
-
Pemilihan kamar (waktu itu pilih
VVIP kelas 1 karena kamar lain habiiiis—untung dapet rapelan dari kantor :p :D )
Setelah
dicek, ternyata dalam semalam anak saya nyaman di bukaan 1. Alhasil, pagi jam
tujuh, saya dimasuki alat untuk mengosongkan perut lewat lubang anus, lalu
mandi dan sarapan, dan jam 8 saya disuntik (akhirnya disuntik juga) induksi
(yang katanya terbaik) untuk mempercepat bukaan. Setelah berjibaku 5 jam, saya
hampir menyerah untuk meminta caesar ,
tapi semua crew (2 bidan, 3 perawat,
2 asisten dokter) mengatakan: “nanggung kalo mau sesar mbak, ini ibarat dari
jogja mau ke solo udah sampai kartasura. Makin cepat bayi keluar memang makin
sakit”. Dan alhasil, sekitar jam 2.15 anak laki-laki saya keluar dengan
selamat.
Dokter
mengatakan bahwa dia melakukan tindakan episiotomi (menggunting sedikit jalan
lahir untuk mempermudah bayi keluar) dengan 3 jahitan luar dan 13 jahitan
dalam. Dokter menegaskan bahwa saya harus banyak2 makan protein (setara 1 ekor
ayam dalam sehari) untuk mempercepat penyembuhan luka.
Setelah
diadzanin, dibersihkan, dan ditimbang, putra kami: Aidan Akbar dan saya menuju
gedung Carolus untuk pemulihan.
Alhamdulillah
ya Allah, atas bantuanMu.